Sabtu, 27 Oktober 2012

Review: Perahu Kertas 2.


Membagi sebuah penceritaan film menjadi dua bagian jelas bukanlah sebuah hal yang baru di industri film dunia. Beberapa franchise besar yang mendasarkan kisahnya dari sebuah novel – seperti Harry Potter, The Twilight Saga sampai The Hobbit – telah (atau dalam kasus The Hobbit, akan) melakukannya dengan dasar alasan bahwa agar seluruh detil dan konflik yang ada di dalam jalan cerita dapat ditampilkan dengan baik. Tentu saja, mereka yang skeptis akan berpendapat bahwa keputusan tersebut diambil tidak lebih hanyalah karena alasan komersial belaka – dibuat agar rumah produksi dapat meraih keuntungan dua kali lebih besar dari satu material cerita yang sama. Well… beberapa pendapat skeptis tersebut mungkin saja benar. Namun, bagaimanapun, ketika berada di tangan sutradara yang tepat, sebuah material cerita yang memang sengaja diperpanjang akan setidaknya mampu tetap memberikan kenikmatan tersendiri bagi penonton untuk menyaksikannya.

Lalu bagaimana dengan Perahu Kertas 2? Harus diakui, menempatkan Dewi Lestari untuk mengadaptasi sendiri novel yang ia tulis menjadi sebuah naskah cerita film – khususnya mengingat bahwa ia sama sekali belum pernah melakukan hal tersebut sebelumnya – adalah bagai memegang pisau bermata dua. Di satu sisi, Dewi Lestari jelas adalah satu-satunya orang yang tahu secara mendalam mengenai jiwa dari setiap lekuk cerita maupun karakter yang ia hadirkan dalam Perahu Kertas. Di sisi lain, kurangnya pengalaman Dewi Lestari dalam menggarap sebuah naskah cerita film dapat saja membuatnya terkesan ragu dalam merampingkan beberapa bagian cerita dari Perahu Kertas yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan untuk dihamparkan dalam penceritaan versi film dari novel tersebut. Apa yang terpapar pada Perahu Kertas 2, sayangnya, justru membuktikan kelemahan tersebut.

Menyambung kisah yang terputus pada Perahu Kertas, setelah sekian lama tidak bertemu dan saling tidak berhubungan satu sama lain, Kugy (Maudy Ayunda) dan Keenan (Adipati Dolken) kembali dipertemukan pada pesta pernikahan sahabat mereka, Eko (Fauzan Smith) dan Noni (Sylvia Fully R). Pertemuan tersebut tidak dapat disangkal mampu mencairkan kembali hubungan antara Kugy dan Keenan yang telah lama membeku. Akibat momen itu pula, Kugy kembali menemukan hasratnya untuk menjadi seorang penulis buku dongeng – dengan bantuan Keenan yang akan menggambarkan ilustrasi dari setiap cerita yang ia tuliskan.
Namun, membaiknya kembali hubungan antara Kugy dan Keenan jelas memberikan dampak yang dalam terhadap hubungan cinta yang mereka jalin terhadap kekasih masing-masing, Remi (Reza Rahadian) dan Luhde (Elyzia Mulachela). Secara perlahan, jarak mulai tercipta antara hubungan Kugy dan Remi serta Keenan dan Luhde, khususnya ketika Remi dan Luhde masing-masing mulai menyadari bahwa jiwa pasangannya telah tidak berada dalam hubungan kasih yang sedang mereka jalin. Di saat yang sama, hubungan antara Kugy dan Keenan tidak lantas berjalan mulus. Keenan lebih memilih untuk mengikhlaskan Kugy untuk memilih jalan hidupnya sendiri… sebuah keputusan yang jelas kemudian membuat hati Kugy begitu terombang-ambing atas perasaannya sendiri, baik kepada Keenan maupun Remi.

Berbeda dengan  Perahu Kertas yang penceritaannya ditata dengan sedemikian rupa untuk mampu memberikan atmosfer kisah romansa remaja yang kuat kepada para penontonnya, Perahu Kertas 2 terkesan digarap dengan begitu terburu-buru. Pergolakan asmara yang terjalin antara karakter Kugy dan Keenan terkesan ditampilkan saling berhimpitan dengan kisah romansa sekunder – kisah asmara antara karakter Kugy dan Remi serta kisah asmara antara Keenan dan Luhde – yang ingin dihadirkan dalam jalan cerita film ini. Hasilnya, tatanan kisah romansa yang begitu rapi dan manis yang dapat dirasakan dalam Perahu Kertas terasa buyar begitu saja dalam penceritaan bagian keduanya. Hal ini pula yang kemudian membuat tak ada satupun dari kisah romansa yang coba dihadirkan dalam Perahu Kertas 2 mampu bekerja secara efektif.

Perahu Kertas 2 sendiri tidak murni hanya menceritakan kisah cinta yang terjalin antara keempat karakter utamanya. Di bagian penceritaan lain, Perahu Kertas 2 juga memberikan porsi cerita bagi kisah hubungan ayah dan anak antara Keenan dengan ayahnya, Adri (August Melasz), penguakan mengenai masa lalu yang terjalin antara Lena (Ira Wibowo) dan Pak Wayan (Tio Pakusadewo), rasa cinta karakter Banyu (Qausar Harta Yudana) kepada karakter Luhde serta rasa cemburu yang selama ini dipendam oleh Sisca (Sharena) ketika menyaksikan hubungan cinta karakter Kugy dan Remi. Seperti halnya plot kisah asmara utama dari film ini, kisah-kisah pendamping ini juga terkesan hadir sebagai tempelan belaka dengan tidak satupun diantara kisah ini mampu tampil dan berkembang dengan sempurna. Jelas sebuah hal yang sangat disayangkan.

Hal lain yang juga sangat terasa hilang dari jalan cerita Perahu Kertas 2 adalah kekuatan chemistry yang tercipta antara jajaran pemerannya. Mungkin hal ini adalah efek sampingan dari pemutusan kisah di Perahu Kertas yang kemudian dengan serta merta dilanjutkan begitu saja oleh Hanung Bramantyo di bagian kedua tanpa memberikan kesempatan bagi penonton untuk berusaha mengenal kembali karakter-karakter yang ada di dalam jalan cerita Perahu Kertas. Namun yang jelas, mereka yang mengharapkan hangatnya hubungan persahabatan antara karakter Kugy, Keenan, Eko dan Noni yang begitu cemerlang di Perahu Kertas harus bersiap-siap kecewa dengan Perahu Kertas 2 – dimana karakter Eko dan Noni yang banyak mencuri perhatian di seri sebelumnya juga kehilangan banyak bagian cerita di seri kali ini.

Walau dengan kelemahan-kelemahan diatas, Perahu Kertas 2 tetap masih sanggup memberikan banyak momen yang menyenangkan di dalam jalan penceritaannya. Jajaran pengisi departemen akting film ini masih mampu memberikan penampilan terbaiknya – khususnya Reza Rahadian yang selalu berhasil memberikan energi lebih dalam setiap kehadirannya. Dialog-dialog romansa yang dirangkai oleh Dewi Lestari masih mampu memberikan daya tariknya tersendiri. Begitu juga dengan kualitas gambar yang dihasilkan oleh Faozan Rizal serta tata musik arahan Andhika Triyadi – yang benar-benar tampil gemilang mengisi kekosongan emosional pada banyak elemen cerita di film ini – masih mampu membuat Perahu Kertas 2 tampil begitu manis.

Sangat mengecewakan untuk melihat kualitas presentasi keseluruhan dari Perahu Kertas 2. Setelah tampil menjanjikan sebagai sebuah drama romansa yang mampu tampil begitu manis di bagian pertamanya, Perahu Kertas 2 justru kemudian hadir dengan jalan cerita yang cenderung terkesan medioker, kehilangan fokus pada begitu banyak bagian dan cenderung datang dengan kehampaan sisi emosional cerita. Secara sederhana, Perahu Kertas 2 terlihat bagai diarahkan oleh orang-orang yang sama sekali berbeda dan dieksekusi dalam tempo yang begitu terburu-buru. Hasilnya, Perahu Kertas 2 gagal untuk menciptakan daya tarik yang sama seperti film pendahulunya. Jelas bukanlah salah satu momen terbaik dalam karir penyutradaraan seorang Hanung Bramantyo – bahkan dapat dikategorikan sebagai salah satu karya terburuknya. Sebuah kompromi komersial yang, sayangnya, berujung dengan kegagalan.

Review Film BROKEN HEARTS

Cukup mengherankan bila melihat di tengah serbuan film-film semacam Negeri 5 Menara, Modus Anomali, The Raid atau Lovely Man, yang berhasil menawarkan sentuhan jalan penceritaan yang apik dan bahkan tampil berani jauh berbeda dari kebanyakan film yang saat ini dirilis oleh industri film Indonesia, masih ada beberapa produser yang memilih untuk merilis film-film dangkal semacam Brokenhearts. Disutradai dan ditulis naskahnya oleh Helfi Kardit – orang yang sama yang bertanggungjawab atas perilisan judul-judul seperti D’Love (2010), Arisan Brondong (2010) dan Arwah Goyang Karawang (2011) – Brokenhearts adalah sebuah contoh lain keserakahan para pembuat film Indonesia yang dengan dangkalnya mengira bahwa penikmat film Indonesia akan begitu mudah untuk terjebak pada film-film tearjerker dengan kualitas penulisan naskah kacangan.

 Brokenhearts berkisah mengenai kisah cinta yang terjalin antara Olivia (Julie Estelle) dan Jamie (Reza Rahadian). Kecintaan Olivia yang begitu mendalam pada Jamie – sesosok pria yang juga begitu mencintai Olivia – membuat Olivia yakin bahwa Jamie adalah pria yang akan mendampingi dirinya di sepanjang sisa hayatnya. Namun, tanpa sebuah alasan yang jelas, Jamie tiba-tiba lenyap begitu saja dari kehidupan Olivia tanpa pernah memberikan sebuah keterangan yang jelas mengapa ia mampu melakukan hal tersebut pada orang yang sangat mencintai dirinya. Jelas saja Olivia kemudian menjadi terpuruk. Sosok Olivia kini berubah menjadi pribadi yang pemurung dan kini sama sekali tidak mempercayai adanya keberadaan cinta sejati.

Niat untuk tidak merasakan patah hati kedua kalinya dengan berusaha untuk tidak jatuh cinta lagi kemudian mendapatkan sebuah tantangan ketika Olivia bertemu dengan Aryo (Darius Sinathrya), seorang novelis sukses yang secara tiba-tiba hadir dalam kehidupan Olivia serta menguntit keberadaan dirinya karena mengaku begitu kagum pada sosok wanita cantik tersebut. Awalnya tentu Olivia tidak menganggap serius kekaguman Aryo tersebut. Walau begitu, secara perlahan dan dengan usaha yang teguh, Aryo berhasil meruntuhkan dinding hati Olivia dan berhasil membuatnya merasa jatuh cinta lagi. Sayang, sebuah rahasia kelam dari masa lalu Olivia siap untuk hadir dan kembali mencegahnya untuk dapat merasakan kebahagiaan yang seutuhnya.




Premis cerita Brokenhearts yang sangat sederhana sendiri sebenarnya dapat diselesaikan dalam masa durasi kurang dari satu jam. Namun mengingat Helfi Kardit sepertinya terobsesi untuk menciptakan sebuah jalan cerita yang berbelit-belit hanya untuk membuat naskah cerita yang ia tulis terlihat kompleks dan seperti digarap oleh seorang penulis naskah yang profesional, Brokenhearts akhirnya dipenuhi dengan berbagai plot tambahan yang sebenarnya amat sangat tidak diperlukan. Kisah percintaan antara karakter Olivia dengan Aryo atau Olivia dengan Jamie yang ditampilkan di sepanjang film terkesan begitu dipaksakan untuk hadir membius dan meluluhkan hati (baca: mengeluarkan air mata) para penontonnya. Akibatnya, tak satupun rasa emosi yang hadir dari ketiga karakter utama tersebut mampu terasa alami dan benar-benar menyentuh.

Tidak hanya dari segi penulisan cerita, karakterisasi setiap peran yang hadir dalam Brokenhearts juga terasa begitu amat dangkal. Ini yang membuat penampilan Julie Estelle, Reza Rahadian dan Darius Sinathrya menjadi sama sekali tidak berguna. Akting yang diberikan Julie dan Darius sebenarnya dalam kapasitas yang pas untuk film-film sejenis Brokenhearts: manis, ringan, beberapa kali berusaha untuk tampil emosional (walau gagal terwujud) dan sama sekali tidak pernah terasa begitu mendalam. Chemistry yang tercipta antara Julie dan Darius juga tampil terlalu tipis untuk membuat hubungan asmara yang terjalin antara karakter yang mereka perankan dapat mudah untuk dipercaya.


Yang jelas pantas untuk merasa kecewa jelas Reza Rahadian yang (seperti biasa) memberikan penampilan akting yang begitu kuat.  Reza mampu menghadirkan penghayatan yang mendalam atas perannya sebagai sesosok karakter yang sedang menderita penyakit yang mematikan. Sayangnya, dengan buruknya penulisan naskah film ini, penampilan apik Reza justru menjadi terlihat sebagai guyonan dan lebih sering mengundang rasa geli daripada rasa simpati. Karakter-karakter pendukung lain yang hadir dalam Brokenhearts juga tidak mendapatkan porsi penceritaan yang berarti. Kebanyakan hanya hadir sebagai properti belaka untuk menambah warna penceritaan film ini.

Tidak dapat disangkal, Helfi Kardit sepertinya memang menujukan Brokenhearts untuk mereka yang memang menggemari film-film tearjerker – dan dengan mudah merasa tersentuh dengan kisah cinta tak sampai yang cheesy dan terlalu dramatis. Tidak ada yang salah dalam menghasilkan sebuah film romansa dengan jalan cerita yang klise, namun Brokenhearts tampil begitu lemah dalam penceritaannya akibat terlalu bergantung pada berbagai formula standar film-film romansa kacangan tanpa pernah mampu memberikan sentuhan yang kuat pada penampilan deretan karakternya. Drama lemah yang jauh dari kesan menarik dan mengesankan.





Review Film Brownies: Berani Mengungkapkan Rasa.

Di era New Indonesia Cinema, tak banyak film layar lebar yang mencoba menyasar penonton dewasa. Sejak sukses Ada Apa Dengan Cinta ?, sontak sekeliling kita dikepung sosok remaja, mulai dari yang terasa nyata hingga yang karakterisasinya tak jelas. Pasca fenomena Jelangkung, film nasional kita berganti rupa para pemerannya, yang dulunya dikuasai aktor (manusia), kini mulai diramaikan oleh segala jenis setan, mulai dari suster ngesot, hostes bunting dan entah setan apa lagi. Baru Arisan!-lah yang berani mengobrolkan persoalan orang dewasa dengan segala kompleksitas-nya. Brownies, film layar lebar ketiga Sinemart meski tak sedalam Arisan! yang memotret kesesakan hidup yang merasuki kaum yuppies, toh tetap menawarkan cita rasa yang nikmat. Beraroma menyegarkan dan mengaduk – aduk perasaan seperti seseorang yang cukup pandai mengolah berbagai bahan menjadi kue brownies.
           
            Yang menarik dari Brownies adalah penokohan karakter – karakternya yang terasa membumi. Mel (Marcella Zalianty) yang sukses di dunia kerja namun mengalami kegagalan dalam percintaan adalah sosok yang sangat akrab dengan kita, bahkan mungkin dialami oleh sebagian penonton. Sementara Are (Bucek) yang cuek dan sederhana dan terobsesi dengan ibunya, juga adalah gambaran kaum pria kebanyakan. Adapun Joe (Phillip Jusuf-Jauw), pemuda ganteng yang playboy juga tak susah kita temui di lingkungan sekitar. Itulah yang membangun koneksitas antara Brownies dengan mereka yang memirsanya. Akhirnya, setelah menonton film ini, jika banyak muncul komentar, “Mel itu gue banget lho !” menjadi sebuah hal yang tak terlalu mengherankan.

            Karakterisasi peran di Brownies memang cukup meyakinkan. Seperti Mel yang sekilas tampak percaya diri dan menjelma sebagai independent woman, ternyata di saat lain dengan gampang bercucuran air mata ketika memergoki Joe tengah bercinta dengan wanita lain. Disaat lain, Mel pun tampak sangat impulsif karena terlalu mengikuti kata hatinya. Bagian ini yang paling membuat penonton geregetan. Dan harus diakui, Marcella terbilang lumayan baik mentransfer roh Mel kedalam dirinya. Meski di beberapa bagian masih tampak bolong sana – sini, Marcella bisa menutupi dengan performanya yang meyakinkan di beberapa adegan. Yang menarik ketika Mel digambarkan mengamuk di kamarnya, memecahkan pigura foto yang memuat dirinya dan Joe, lantas menyayatnya dengan pisau. Eh, tak berselang lama, ada sebuah foto yang sudah disayatnya coba disatukannya lagi. Disinilah kekuatan skenario yang lebih mengandalkan bahasa gambar dari bahasa tutur.

            Tapi Brownies pun bisa dicap sebagai tontonan yang lamban dan membosankan karena “membuang” waktu sekian banyak untuk memperkenalkan karakter Mel dan Are kepada penonton. Ini mungkin masalah selera, karena toh banyak juga yang menyukai pemaparan sedemikian untuk mendapatkan gambaran karakter yang meyakinkan. Bucek juga rasanya tak bermain maksimal, di beberapa adegan yang mestinya lebih bisa memperlihatkan emosinya dimainkannya dengan datar – datar saja. Padahal, jika merunut pada dialog yang diucapkan soal ibunya, mestinya bisa lebih mempertegas karakternya. Di luar dugaan, Phillip justru bermain lepas, cukup menawan terlebih ketika ia menebarkan aroma charming-nya (yang mungkin akan membuat para cewek termehek – mehek). Juga ada Inong yang kuat karakter lesbi-nya, sayang sekali porsinya tampil di layar tak banyak.

            Brownies adalah karya perdana Hanung Bramantyo di layar lebar. Jika sebelumnya, Hanung cukup pintar mengemas tontonan berlatar budaya kedaerahan (bisa dilihat lewat Kidung dan Topeng Kekasih), sekarang mungkin karena sudah bermukim di dunia metropolis, maka pengamatannya akan sekeliling pun mulai berubah. Brownies yang bercitra metropolis bisa juga diresapi oleh Hanung yang juga ikut menulis skenario-nya (bersama Salman Aristo dan Erick Sasono). Entahlah, ini pengaruh dari pengamatan Hanung atau karena dirinya sendiri memang sudah terseret arus metropolis …….


Review Film : HUMKO TUMSE PYAR HAI.

Drama musikal romantis Bollywood yang digarap sutradara Bunty Soorma pada tahun 2006 ini menyajikan premis cukup menarik, yaitu bagaimana seorang wanita penyandang disabilitas harus menjalani hidupnya. Tentu saja cinta dan perjuangan menghadapi kerasnya hidup pun menjadi bumbu utama film yang bertajuk Humko Tumse Pyaar Hai ini.

Alkisah Durga (Amisha Patel), seorang wanita cantik namun menyandang kebutaan dengan bakat membuat barang tembikar indah. Ia hidup dalam kemiskinan dan tinggal bersama ibunya yang janda di sebuah rumah sederhana. Suatu hari Durga bertemu Babu Rohit (Arjun Rampal) yang menyelamatkannya yang hampir tergelincir ke jurang. Mereka saling jatuh cinta dan bahkan berencana membangun rumah tangga.

Karena Durga begitu ingin melihat wajah Rohit sehingga pria tersebut membawanya ke rumah sakit untuk menjalani operasi mata agar kebutaannya bisa disembuhkan. Sementara Durga sedang menjalani proses penyembuhan paska operasi, Rohit sibuk mempersiapkan rumah baru untuk rumah tangga mereka kelak. Namun seorang pria yang begitu menginginkan Durga itu sangat cemburu dan membunuh Rohit. Pria lain itulah yang menyebabkan kematian ibu Durga sebelumnya.

Mendengar kabar tewasnya kekasihnya, Durga menjadi sangat depresi sehingga dokter yang mengoperasi matanya, Dr. R. K. Prasad (Kanwaljit Singh) jadi iba dan mengambil Durga sebagai putri angkatnya. Untuk membantu pemulihan Durga, Dr. Prasad membawanya ke Swiss dimana Durga bertemu dengan seorang pria muda bernama Raj (Bobby Deol). Sebagaimana Durga, Raj juga berduka kehilangan sahabat terbaiknya. Yang tidak disadari mereka kalau mendiang kekasih Durga dan sahabat baik Raj itu ternyata adalah pria yang sama, Rohit.


Raj pun jatuh cinta kepada Durga. Berkat usahanya yang gigih sehingga Durga yang masih sangat mencintai Rohit ini mau menerima lamaran Raj. Pada hari pertunangan mereka, Raj mendadak mendapat kabar bahwa Rohit ternyata masih hidup dan telah sadar dari komanya di sebuah rumah sakit terpencil. Rupanya Rohit tidak benar-benar tewas di tangan pria lain itu. Tentu saja Raj sangat girang dan segera menjemput sahabat baiknya untuk dibawa ke rumahnya. Ia sudah tidak sabar memperkenalkan Durga, tunangannya kepada Rohit. 

Tidak hanya sampai di situ, anda akan terpukau dengan kemampuan bermain para cast. Mereka begitu total dalam adu peran. Siap-siaplah untuk terpukau dengan konflik batin si cantik Amisha, betapa baik hatinya Arjun Rampal dan begitu tulusnya Bobby Deol. Tidak samapi di situ, Bunty Soorma tampak berusaha memanjakan mata para penonton dengan menampilkan setting alam Swiss yang indah. So, meski film ini telah lewat 6 tahun yang lalu, tapi tetap mampu menguras emosi dan up to date. Nah, itulah kelebihan film India.


Rabu, 24 Oktober 2012

Review : We Are Family

The Plot
Aman (Arjun Rampal) and Maya (Kajol) is a divorced couple with 3 children. Their life got complicated when Aman had a girlfriend, Shreya (Kareena Kapoor) and Maya got cancer.
The Comment
Merasa familiar dengan plot We Are Family (2010)? Ya, film Hindi ini (duh,sepertinya tengah terkena Hindi fever) adalah adaptasi dari film Stepmom (1998). Dan sama seperti Stepmom yang dibintangi dua famous actress Hollywood, Roberts dan Sarandon, dua aktris terpopuler di India, Kajol dan Kareena yang dipilih oleh director debutan, Sidharth Malhotra untuk membintangi film ini.


Berbeda dengan versi originalnya yang memang lebih terfokus pada si calon ibu tiri, plot We Are Family sendiri lebih terfokus pada Maya, instead of struggling Shreya sebagai calon stepmom. Anda akan diajak berempati lebih dalam kepada karakter Maya. Mungkin, jam terbang Kajol yang lebih tinggi membuat ia tampak dianggap menguasai layar dibanding Kareena, dan Kajol memang membuktikan she’s one of best hindi actress for this decade walaupun secara fisik, Kajol tidak secantik aktris lainnya.
Walaupun Arjun Rampal had a poorly performance mengingat ruang geraknya yang memang terbatas dalam skrip yang sangat woman’s oriented, honestly, I heart him since I was at high school, so film ini menjadi pelepas rindu movietard. Yang membuat film ini asyik dinikmati selain flawless performance Kajol adalah betapa cute-nya akting ketiga pemeran karakter anak-anak, Aleya, Akush dan Anjali. Interact Maya dengan ketiga anaknya ini  yang akan membuat kamu sukses menangis ketika menonton.



Dengan plot yang sangat cliche dibanyak bagian hingga ke ending-nya (tetapi tetap membuat penonton menangis), We Are Family juga menjadi salah satu contoh bagaimana film Hindi telah bertransformasi. Dengan keseluruhan seting di Sydney, Australia, cita rasa Hindi realitasnya telah beralkulturasi dengan budaya barat, yang ditunjukkan dengan banyaknya english dialogue, kecintaan Anjali kecil dengan fairy-thingy hingga the luckiest part, tidak banyak dancing scenes menunjukkan bahwa modernisasi Hindi movie telah berjalan dengan baik. We Are Family jelas adalah film drama popcorn keluarga yang dapat dinikmati seluruh audiens. Dengan sinematografi yang sangat colorful, cerita yang modern dan dibintangi bintang papan atas, film ini sepertinya tak ambil repot jika audiens akan berpikir, bagaimana seorang ayah yang berprofesi sebagai fotografer dan ibu rumah tangga dapat tinggal di kawasan suburban elit dan dapat membiayai sekolah anak-anaknya di negara asing dengan high living cost. Most of all, nikmati saja penampilan superb Kajol, betapa cool-nya Arjun, kecantikan Kareena dan cute-nya ketiga anak-anak mereka.
I have their yesterday, but you have their future [Maya] 

Kamis, 27 September 2012

Catatan Harian Guru Galau: MENERIMA.

"Bang, segera pulang ya. Rumah tidak dikunci."

Sebuah suara yang menghilang dikejauhan. Suara dari balik ponsel yang menyentak, bahwa aku sedang tidak bermimpi. Ya, itu adalah sebuah peristiwa yang sampai sekarang masih membatu di kepalaku. Meski aku harus bijak menyikapi persoalan ini; MANUSIA ADALAH TEMPATNYA SALAH.

Begitulah, baru saja aku keluar kelas dan menghela nafas panjang. Baru saja aku akan memasukkan buku ke dalam ransel. Baru saja siswa terakhirku mencium punggung tangan. Baru saja saat itu aku belajar untuk lebih tersenyum menyikapi apa saja. Dan aku sedang galau memikirkan administrasi sekolah yang belum selesai. Di saat seperti itu aku menerima kabar buruk. Dari orang yang amat kukenal, kupercaya. Tapi lagi-lagi, kita manusia biasa.

Aku marah. Terang saja. Bagaimana tidak, kukira kau juga akan marah jika saja berada di posisiku saat itu. Aku marah bukan kepada orangnya, tapi kecerobohannya. Berbagai hal rumit menyerang pikiranku saat itu, bagaimana jika orang masuk, lalu mengambil barang apa saja yang bisa dijual. Ah,entahlah, saat itu aku hanya bisa pasrah.

Akhirnya, aku meradang. Seperti pesakitan. Aku ingin meluapkan amarah ini. Aku tak mau bicara dengannya beberapa hari saja. Aku ingat, bagaiman ibuku pernah marah besar saat aku meninggalkan rumah tanpa dikunci. Ini semua menjadi trauma dan pelajaran penting untukku. Itulah mengapa aku sulit berpikir jernih hari itu. Yang lebih membuatku  gerah adalah, ketika dia menanyakan sebuah barang yang bukan milikku apakah masih ada di tempat atau tidak. Oho, pikiran gilaku semakin kacau, aku berpikir, kalau seandainya barang-barangku yang hilang, apakah dia akan sepeduli itu. Ah, entahlah. SERINGKALI KITA TIDAK SADAR KITA TELAH BERSIKAP EGOIS TANPA KITA SADARI.

Sampai akhirnya, setelah tiga hari puas tidak berbicara. Puas mengacuhkan. Aku minta pendapat seorang temanku, ia menyadarkanku. Hanya ini yang ia katakan sampai akhirnya aku tahu manusia memang tempatnya khilaf.

TERIMALAH KEKURANGAN ORANG LAIN DENGAN LAPANG DADA.

Ya, itulah inti dari sebuah hubungan. Apapun jenisnya bahwa modal awalnya hanyalah sebuah PENERIMAAN. Ah, ternyata masalah ini malah mendewasakan ternyata.

*Ketika tugas menumpuk.

Minggu, 23 September 2012

Catatan Harian Guru Galau : Guru VS Selebriti.

Hari Minggu. Ah, cepat kali ya waktu berlari. Seperti baru kemarin aku tidur sampai puas habis subuh eh udah Minggu lagi. Terus besoknya Senin lagi. Ah, kembali bekerja. Orang-orang sering mengistilahkannya dengan I DON'T LIKE MONDAY, tapi tidak bagiku. Aku mencintai hari, sebab hari adalah waktu dan waktu adalah emas (berlagak bijak).

Soal pekerjaan, bukannya setiap orang dewasa harus bekerja? Dan bukannya bekerja itu bagian dari ibadah? (Sok bijak lagi). Tapi iya juga sih, aku gak bisa bilang kalau orang harus mengerti maunya aku. Seperti teman kerjaku (perkenalkan aku guru SD), yang selalu mengeluh sambil berbisik kepadaku "PENDERITAAN DIMULAI". Oho, aku tersenyum kecut. Kalau belum apa-apa di otak sudah terbentuk sebuah stigma aneh yang negatif pula, maka jadilah seharian itu membosankan, menyebalkan dan suidah pasti pasti tidak menyenangkan. Oho....

Menghadapi anak-anak memang bukan perkara mudah. Apalagi bagi kami, laki-laki. Itu semua seperti mimpi buruk. Bisa-bisa stroke karena gak tahan dengan tingkah anak-anak yang menjengkelkan. Apalagi menghadapi anak-anak zaman sekarang. Bikin galau euy...

CONTOH KASUS:

Suatu siang, sebut saja nama gurunya Pak Yanto, seorang guru muda, fresh graduate, pintar dan memiliki begitu banyak kemampuan untuk menarik perhatian anak. Hanya saja, dia sering mengeluh. Bilang padaku bahwa ia sering tidak tahan dengan kenakalan anak-anak itu. Jadilah suatu hari dia masuk ke dalam kelas yang terkenal dengan tingkat kebandelan super duper. Dan taraaa....bim salabim jadi apa prok, prok, prok....

Ketika dia mengajar, anak-anak muridnya lari ke luar kelas. Dan dia tidak tahu. Why? Apa masalahnya?  Setelah aku cari tahu, ternyata kita (lu aja kale) sering kali tidak berusaha menarik perhatian para murid. Dan sejak itu aku berpikir bahwa menjadi guru berarti harus menjadi aktor/aktris.


*Ketika lagi mengikuti pelatihan Blogger di Amaliun Foorcourt.