Sabtu, 27 Oktober 2012

Review Film Brownies: Berani Mengungkapkan Rasa.

Di era New Indonesia Cinema, tak banyak film layar lebar yang mencoba menyasar penonton dewasa. Sejak sukses Ada Apa Dengan Cinta ?, sontak sekeliling kita dikepung sosok remaja, mulai dari yang terasa nyata hingga yang karakterisasinya tak jelas. Pasca fenomena Jelangkung, film nasional kita berganti rupa para pemerannya, yang dulunya dikuasai aktor (manusia), kini mulai diramaikan oleh segala jenis setan, mulai dari suster ngesot, hostes bunting dan entah setan apa lagi. Baru Arisan!-lah yang berani mengobrolkan persoalan orang dewasa dengan segala kompleksitas-nya. Brownies, film layar lebar ketiga Sinemart meski tak sedalam Arisan! yang memotret kesesakan hidup yang merasuki kaum yuppies, toh tetap menawarkan cita rasa yang nikmat. Beraroma menyegarkan dan mengaduk – aduk perasaan seperti seseorang yang cukup pandai mengolah berbagai bahan menjadi kue brownies.
           
            Yang menarik dari Brownies adalah penokohan karakter – karakternya yang terasa membumi. Mel (Marcella Zalianty) yang sukses di dunia kerja namun mengalami kegagalan dalam percintaan adalah sosok yang sangat akrab dengan kita, bahkan mungkin dialami oleh sebagian penonton. Sementara Are (Bucek) yang cuek dan sederhana dan terobsesi dengan ibunya, juga adalah gambaran kaum pria kebanyakan. Adapun Joe (Phillip Jusuf-Jauw), pemuda ganteng yang playboy juga tak susah kita temui di lingkungan sekitar. Itulah yang membangun koneksitas antara Brownies dengan mereka yang memirsanya. Akhirnya, setelah menonton film ini, jika banyak muncul komentar, “Mel itu gue banget lho !” menjadi sebuah hal yang tak terlalu mengherankan.

            Karakterisasi peran di Brownies memang cukup meyakinkan. Seperti Mel yang sekilas tampak percaya diri dan menjelma sebagai independent woman, ternyata di saat lain dengan gampang bercucuran air mata ketika memergoki Joe tengah bercinta dengan wanita lain. Disaat lain, Mel pun tampak sangat impulsif karena terlalu mengikuti kata hatinya. Bagian ini yang paling membuat penonton geregetan. Dan harus diakui, Marcella terbilang lumayan baik mentransfer roh Mel kedalam dirinya. Meski di beberapa bagian masih tampak bolong sana – sini, Marcella bisa menutupi dengan performanya yang meyakinkan di beberapa adegan. Yang menarik ketika Mel digambarkan mengamuk di kamarnya, memecahkan pigura foto yang memuat dirinya dan Joe, lantas menyayatnya dengan pisau. Eh, tak berselang lama, ada sebuah foto yang sudah disayatnya coba disatukannya lagi. Disinilah kekuatan skenario yang lebih mengandalkan bahasa gambar dari bahasa tutur.

            Tapi Brownies pun bisa dicap sebagai tontonan yang lamban dan membosankan karena “membuang” waktu sekian banyak untuk memperkenalkan karakter Mel dan Are kepada penonton. Ini mungkin masalah selera, karena toh banyak juga yang menyukai pemaparan sedemikian untuk mendapatkan gambaran karakter yang meyakinkan. Bucek juga rasanya tak bermain maksimal, di beberapa adegan yang mestinya lebih bisa memperlihatkan emosinya dimainkannya dengan datar – datar saja. Padahal, jika merunut pada dialog yang diucapkan soal ibunya, mestinya bisa lebih mempertegas karakternya. Di luar dugaan, Phillip justru bermain lepas, cukup menawan terlebih ketika ia menebarkan aroma charming-nya (yang mungkin akan membuat para cewek termehek – mehek). Juga ada Inong yang kuat karakter lesbi-nya, sayang sekali porsinya tampil di layar tak banyak.

            Brownies adalah karya perdana Hanung Bramantyo di layar lebar. Jika sebelumnya, Hanung cukup pintar mengemas tontonan berlatar budaya kedaerahan (bisa dilihat lewat Kidung dan Topeng Kekasih), sekarang mungkin karena sudah bermukim di dunia metropolis, maka pengamatannya akan sekeliling pun mulai berubah. Brownies yang bercitra metropolis bisa juga diresapi oleh Hanung yang juga ikut menulis skenario-nya (bersama Salman Aristo dan Erick Sasono). Entahlah, ini pengaruh dari pengamatan Hanung atau karena dirinya sendiri memang sudah terseret arus metropolis …….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar