Kamis, 27 September 2012

Catatan Harian Guru Galau: MENERIMA.

"Bang, segera pulang ya. Rumah tidak dikunci."

Sebuah suara yang menghilang dikejauhan. Suara dari balik ponsel yang menyentak, bahwa aku sedang tidak bermimpi. Ya, itu adalah sebuah peristiwa yang sampai sekarang masih membatu di kepalaku. Meski aku harus bijak menyikapi persoalan ini; MANUSIA ADALAH TEMPATNYA SALAH.

Begitulah, baru saja aku keluar kelas dan menghela nafas panjang. Baru saja aku akan memasukkan buku ke dalam ransel. Baru saja siswa terakhirku mencium punggung tangan. Baru saja saat itu aku belajar untuk lebih tersenyum menyikapi apa saja. Dan aku sedang galau memikirkan administrasi sekolah yang belum selesai. Di saat seperti itu aku menerima kabar buruk. Dari orang yang amat kukenal, kupercaya. Tapi lagi-lagi, kita manusia biasa.

Aku marah. Terang saja. Bagaimana tidak, kukira kau juga akan marah jika saja berada di posisiku saat itu. Aku marah bukan kepada orangnya, tapi kecerobohannya. Berbagai hal rumit menyerang pikiranku saat itu, bagaimana jika orang masuk, lalu mengambil barang apa saja yang bisa dijual. Ah,entahlah, saat itu aku hanya bisa pasrah.

Akhirnya, aku meradang. Seperti pesakitan. Aku ingin meluapkan amarah ini. Aku tak mau bicara dengannya beberapa hari saja. Aku ingat, bagaiman ibuku pernah marah besar saat aku meninggalkan rumah tanpa dikunci. Ini semua menjadi trauma dan pelajaran penting untukku. Itulah mengapa aku sulit berpikir jernih hari itu. Yang lebih membuatku  gerah adalah, ketika dia menanyakan sebuah barang yang bukan milikku apakah masih ada di tempat atau tidak. Oho, pikiran gilaku semakin kacau, aku berpikir, kalau seandainya barang-barangku yang hilang, apakah dia akan sepeduli itu. Ah, entahlah. SERINGKALI KITA TIDAK SADAR KITA TELAH BERSIKAP EGOIS TANPA KITA SADARI.

Sampai akhirnya, setelah tiga hari puas tidak berbicara. Puas mengacuhkan. Aku minta pendapat seorang temanku, ia menyadarkanku. Hanya ini yang ia katakan sampai akhirnya aku tahu manusia memang tempatnya khilaf.

TERIMALAH KEKURANGAN ORANG LAIN DENGAN LAPANG DADA.

Ya, itulah inti dari sebuah hubungan. Apapun jenisnya bahwa modal awalnya hanyalah sebuah PENERIMAAN. Ah, ternyata masalah ini malah mendewasakan ternyata.

*Ketika tugas menumpuk.

Minggu, 23 September 2012

Catatan Harian Guru Galau : Guru VS Selebriti.

Hari Minggu. Ah, cepat kali ya waktu berlari. Seperti baru kemarin aku tidur sampai puas habis subuh eh udah Minggu lagi. Terus besoknya Senin lagi. Ah, kembali bekerja. Orang-orang sering mengistilahkannya dengan I DON'T LIKE MONDAY, tapi tidak bagiku. Aku mencintai hari, sebab hari adalah waktu dan waktu adalah emas (berlagak bijak).

Soal pekerjaan, bukannya setiap orang dewasa harus bekerja? Dan bukannya bekerja itu bagian dari ibadah? (Sok bijak lagi). Tapi iya juga sih, aku gak bisa bilang kalau orang harus mengerti maunya aku. Seperti teman kerjaku (perkenalkan aku guru SD), yang selalu mengeluh sambil berbisik kepadaku "PENDERITAAN DIMULAI". Oho, aku tersenyum kecut. Kalau belum apa-apa di otak sudah terbentuk sebuah stigma aneh yang negatif pula, maka jadilah seharian itu membosankan, menyebalkan dan suidah pasti pasti tidak menyenangkan. Oho....

Menghadapi anak-anak memang bukan perkara mudah. Apalagi bagi kami, laki-laki. Itu semua seperti mimpi buruk. Bisa-bisa stroke karena gak tahan dengan tingkah anak-anak yang menjengkelkan. Apalagi menghadapi anak-anak zaman sekarang. Bikin galau euy...

CONTOH KASUS:

Suatu siang, sebut saja nama gurunya Pak Yanto, seorang guru muda, fresh graduate, pintar dan memiliki begitu banyak kemampuan untuk menarik perhatian anak. Hanya saja, dia sering mengeluh. Bilang padaku bahwa ia sering tidak tahan dengan kenakalan anak-anak itu. Jadilah suatu hari dia masuk ke dalam kelas yang terkenal dengan tingkat kebandelan super duper. Dan taraaa....bim salabim jadi apa prok, prok, prok....

Ketika dia mengajar, anak-anak muridnya lari ke luar kelas. Dan dia tidak tahu. Why? Apa masalahnya?  Setelah aku cari tahu, ternyata kita (lu aja kale) sering kali tidak berusaha menarik perhatian para murid. Dan sejak itu aku berpikir bahwa menjadi guru berarti harus menjadi aktor/aktris.


*Ketika lagi mengikuti pelatihan Blogger di Amaliun Foorcourt.

Rabu, 19 September 2012

Bukan Catatan Galau.

Seperti biasa. Setiap pagi aku harus bangun pukul lima pagi (kadang-kadang kelwatan dikit..). Solat, mandi, habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku (sambil nyanyi) dan setelah itu gak punya waktu lagi untuk yang namanya fesbukan, twitteran apalagi tidur ulang. Aku harus menyetrika baju kerjaku. SENDIRIAN. Lalu menyemir sepatu. Dandan dan hasilnya taraaaaaaa....hancur abies! :D

Pukul 6.15 pagi, aku selalu membayangkan diriku keluar dari hotel bintang lima. Berjalan ke lobi menuju angkot jemputan (agaknya tukang angkot mulai menghafal wajahku). Kutaksir sampai di sekolah pukul 6.55 wib dan jadilah aku guru pertama di sekolah. ckckckckck...

Hah, kadang jenuh dan membosankan dengan rutinitas yang tidak beritme. Orang-orang selalu bilang ikhlas. Rasanya ingin sekali aku teriak di telinga mereka: WOI, KALAU AKU GAK IKHLAS, GAK MUNGKIN AKU RAJIN DATANG TIAP HARI. HAHAHAHAHA....(BUKAN DENGAN NADA MARAH)

Ah, aku menikmati pekerjaanku sekarang. SANGAT menikmati. Pergi pagi pulang menjelang petang. Itu semua mengasyikan. Aku ingat petuah guruku, tebarkanlah ilmu yang bermanfaat buat sesamamu.

Udah ah, gak tahu lagi mau nulis apa. Lagipula tanganku udag keder. Lain waktu sambung lagi.


Selasa, 18 September 2012

FORUM LINGKAR PENA


Catatan Harian Guru Galau.

Mereka memanggilku guru. Ah, terang saja aku sering manggut-manggut sendiri. Guru? Oh, sejak kapan aku merindukan panggilan yang tidak layak untukku itu. Aku tidak suka dipanggil dengan sebutan itu. Oh, bukan, bukan karena gengsi sebab guru selalu identik dengan wajah tua nan berwibawa. Bukan, ini bukan tentang itu. Ini lebih dari persoalan apakah aku layak dipanggil dengan sebutan itu? Aku saja masih suka galau, hangout gak jelas dan ketawa lebar-lebar.

Aku masih pemuda beranjak dewasa yang diliputi kegalauan tingkat dewa.Memikirkan dengan siapa nanti aku menikah (secara ngejomblo terus), karir dan masa depan yang masih abu-abu (sebab aku tak mau jadi guru seumur hidupku). Hei, bukankah guru pekerjaan yang mulia? Ya, tak ada yang menyangkalnya.

Soal umur, aku seharusnya sudah memikirkan tahun berapa akan menikah. Bukan malah galau lihat sahabat nikah terus pengin nikah juga. Itu mah latah namanya! Sudah bebal rasanya telingaku tiap kali sahabat-sahabatku yang sudah menikah itu menelpon dengan topik yang sama dan pertanyaan yang sama; AYOLAH KAPAN LAGI? NTAR KEBURU TUA DAN GAK SEMPAT NIKMATI SURGA DUNIA. 
Jeggerrrrrrrr!!!
Rasanya aku ingin membanting handphone saja. 

Oya, kembali ke persoalan awal tadi. GURU. Ya, aku bekerja sebagai tenaga pengajar pada sebuah sekolah dengan sistem sekolah terpadu. Tak usahlah kusebut nama sekolahnya. Cukup bonafit dan muridnya berasal dari bangsa borjuis. Aih, aku rasa jajan mereka saja melebihi gajiku sebulan. Hahahahah...

Tapi ini bukan soal gaji. Tapi lebih dari itu. Ini tentang masa depan. Pertanyaan paling pentingnya adalah kapan aku pernah bermimpi dan bercita-cita jadi guru. So let's see behind the scenenya;

Aku ingat sekali ketika SD dulu. Pak Raja yang pernah menendangku itu memintaku ke depan kelas. Berbicara di depan kelas tentang cita-cita.
Pak Raja :  Hadi (bukan nama sebenarnya) bisakah kamu beritahu kami apa cita-citamu?
Aku : (Benggong, menarik napas panjang. Berjalan patah-patah sambil menunduk) 
Teman-teman sekelas: (menatap dari ujung kaki sampai jempol busuk)
Pak Raja: Cita-cita kamu apa? (Intonasi suaranya sedikit menekan)
Aku : Sa...saya..ingin jadi dokter hewan Pak.
Jegger!!
Teman-teman sekelas : (teriak-teriak histeris kayak monyet, tawa mereka pecah)
Hei, apa yang salah dengan cita-citaku? Dokter hewan, kukira bukan profesi yang memalukan.

Waktu itu aku hanya mengumpat dalam hati. Dasar orang-orang tolol, selalu menertawai sesuatu yang gak lucu sama sekali. Nah, dari fragment drama korea di atas, tidak ada satupun  yang sangkut dengan profesiku hari ini, bukan? So, aku gak pernah tahu dan sama sekali gak menyangka akhirnya aku menjadi GURU.