Membagi sebuah penceritaan film menjadi dua bagian jelas bukanlah sebuah hal yang baru di industri film dunia. Beberapa franchise besar yang mendasarkan kisahnya dari sebuah novel – seperti Harry Potter, The Twilight Saga sampai The Hobbit – telah (atau dalam kasus The Hobbit,
akan) melakukannya dengan dasar alasan bahwa agar seluruh detil dan
konflik yang ada di dalam jalan cerita dapat ditampilkan dengan baik.
Tentu saja, mereka yang skeptis akan berpendapat bahwa keputusan
tersebut diambil tidak lebih hanyalah karena alasan komersial belaka –
dibuat agar rumah produksi dapat meraih keuntungan dua kali lebih besar
dari satu material cerita yang sama. Well… beberapa pendapat
skeptis tersebut mungkin saja benar. Namun, bagaimanapun, ketika berada
di tangan sutradara yang tepat, sebuah material cerita yang memang
sengaja diperpanjang akan setidaknya mampu tetap memberikan kenikmatan
tersendiri bagi penonton untuk menyaksikannya.
Lalu bagaimana dengan Perahu Kertas 2?
Harus diakui, menempatkan Dewi Lestari untuk mengadaptasi sendiri novel
yang ia tulis menjadi sebuah naskah cerita film – khususnya mengingat
bahwa ia sama sekali belum pernah melakukan hal tersebut sebelumnya –
adalah bagai memegang pisau bermata dua. Di satu sisi, Dewi Lestari
jelas adalah satu-satunya orang yang tahu secara mendalam mengenai jiwa
dari setiap lekuk cerita maupun karakter yang ia hadirkan dalam Perahu Kertas.
Di sisi lain, kurangnya pengalaman Dewi Lestari dalam menggarap sebuah
naskah cerita film dapat saja membuatnya terkesan ragu dalam
merampingkan beberapa bagian cerita dari Perahu Kertas yang
sebenarnya tidak begitu dibutuhkan untuk dihamparkan dalam penceritaan
versi film dari novel tersebut. Apa yang terpapar pada Perahu Kertas 2, sayangnya, justru membuktikan kelemahan tersebut.
Menyambung kisah yang terputus pada Perahu Kertas,
setelah sekian lama tidak bertemu dan saling tidak berhubungan satu
sama lain, Kugy (Maudy Ayunda) dan Keenan (Adipati Dolken) kembali
dipertemukan pada pesta pernikahan sahabat mereka, Eko (Fauzan Smith)
dan Noni (Sylvia Fully R). Pertemuan tersebut tidak dapat disangkal
mampu mencairkan kembali hubungan antara Kugy dan Keenan yang telah lama
membeku. Akibat momen itu pula, Kugy kembali menemukan hasratnya untuk
menjadi seorang penulis buku dongeng – dengan bantuan Keenan yang akan
menggambarkan ilustrasi dari setiap cerita yang ia tuliskan.
Namun, membaiknya kembali hubungan antara
Kugy dan Keenan jelas memberikan dampak yang dalam terhadap hubungan
cinta yang mereka jalin terhadap kekasih masing-masing, Remi (Reza
Rahadian) dan Luhde (Elyzia Mulachela). Secara perlahan, jarak mulai
tercipta antara hubungan Kugy dan Remi serta Keenan dan Luhde, khususnya
ketika Remi dan Luhde masing-masing mulai menyadari bahwa jiwa
pasangannya telah tidak berada dalam hubungan kasih yang sedang mereka
jalin. Di saat yang sama, hubungan antara Kugy dan Keenan tidak lantas
berjalan mulus. Keenan lebih memilih untuk mengikhlaskan Kugy untuk
memilih jalan hidupnya sendiri… sebuah keputusan yang jelas kemudian
membuat hati Kugy begitu terombang-ambing atas perasaannya sendiri, baik
kepada Keenan maupun Remi.
Berbeda dengan Perahu Kertas yang
penceritaannya ditata dengan sedemikian rupa untuk mampu memberikan
atmosfer kisah romansa remaja yang kuat kepada para penontonnya, Perahu Kertas 2
terkesan digarap dengan begitu terburu-buru. Pergolakan asmara yang
terjalin antara karakter Kugy dan Keenan terkesan ditampilkan saling
berhimpitan dengan kisah romansa sekunder – kisah asmara antara karakter
Kugy dan Remi serta kisah asmara antara Keenan dan Luhde – yang ingin
dihadirkan dalam jalan cerita film ini. Hasilnya, tatanan kisah romansa
yang begitu rapi dan manis yang dapat dirasakan dalam Perahu Kertas
terasa buyar begitu saja dalam penceritaan bagian keduanya. Hal ini
pula yang kemudian membuat tak ada satupun dari kisah romansa yang coba
dihadirkan dalam Perahu Kertas 2 mampu bekerja secara efektif.
Perahu Kertas 2 sendiri tidak murni hanya menceritakan kisah cinta yang terjalin antara keempat karakter utamanya. Di bagian penceritaan lain, Perahu Kertas 2
juga memberikan porsi cerita bagi kisah hubungan ayah dan anak antara
Keenan dengan ayahnya, Adri (August Melasz), penguakan mengenai masa
lalu yang terjalin antara Lena (Ira Wibowo) dan Pak Wayan (Tio
Pakusadewo), rasa cinta karakter Banyu (Qausar Harta Yudana) kepada
karakter Luhde serta rasa cemburu yang selama ini dipendam oleh Sisca
(Sharena) ketika menyaksikan hubungan cinta karakter Kugy dan Remi.
Seperti halnya plot kisah asmara utama dari film ini, kisah-kisah
pendamping ini juga terkesan hadir sebagai tempelan belaka dengan tidak
satupun diantara kisah ini mampu tampil dan berkembang dengan sempurna.
Jelas sebuah hal yang sangat disayangkan.
Hal lain yang juga sangat terasa hilang dari jalan cerita Perahu Kertas 2 adalah kekuatan chemistry yang tercipta antara jajaran pemerannya. Mungkin hal ini adalah efek sampingan dari pemutusan kisah di Perahu Kertas
yang kemudian dengan serta merta dilanjutkan begitu saja oleh Hanung
Bramantyo di bagian kedua tanpa memberikan kesempatan bagi penonton
untuk berusaha mengenal kembali karakter-karakter yang ada di dalam
jalan cerita Perahu Kertas. Namun yang jelas, mereka yang
mengharapkan hangatnya hubungan persahabatan antara karakter Kugy,
Keenan, Eko dan Noni yang begitu cemerlang di Perahu Kertas harus bersiap-siap kecewa dengan Perahu Kertas 2
– dimana karakter Eko dan Noni yang banyak mencuri perhatian di seri
sebelumnya juga kehilangan banyak bagian cerita di seri kali ini.
Walau dengan kelemahan-kelemahan diatas, Perahu Kertas 2
tetap masih sanggup memberikan banyak momen yang menyenangkan di dalam
jalan penceritaannya. Jajaran pengisi departemen akting film ini masih
mampu memberikan penampilan terbaiknya – khususnya Reza Rahadian yang
selalu berhasil memberikan energi lebih dalam setiap kehadirannya.
Dialog-dialog romansa yang dirangkai oleh Dewi Lestari masih mampu
memberikan daya tariknya tersendiri. Begitu juga dengan kualitas gambar
yang dihasilkan oleh Faozan Rizal serta tata musik arahan Andhika
Triyadi – yang benar-benar tampil gemilang mengisi kekosongan emosional
pada banyak elemen cerita di film ini – masih mampu membuat Perahu Kertas 2 tampil begitu manis.
Sangat mengecewakan untuk melihat kualitas presentasi keseluruhan dari Perahu Kertas 2. Setelah tampil menjanjikan sebagai sebuah drama romansa yang mampu tampil begitu manis di bagian pertamanya, Perahu Kertas 2
justru kemudian hadir dengan jalan cerita yang cenderung terkesan
medioker, kehilangan fokus pada begitu banyak bagian dan cenderung
datang dengan kehampaan sisi emosional cerita. Secara sederhana, Perahu Kertas 2
terlihat bagai diarahkan oleh orang-orang yang sama sekali berbeda dan
dieksekusi dalam tempo yang begitu terburu-buru. Hasilnya, Perahu Kertas 2
gagal untuk menciptakan daya tarik yang sama seperti film pendahulunya.
Jelas bukanlah salah satu momen terbaik dalam karir penyutradaraan
seorang Hanung Bramantyo – bahkan dapat dikategorikan sebagai salah satu
karya terburuknya. Sebuah kompromi komersial yang, sayangnya, berujung
dengan kegagalan.